Kisah Trauma Ani Kepada Anak

Saya Ani (bukan nama sebenarnya), seorang dokter umum berusia 33 tahun. Sekitar 6 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2018 saya mengalami kejadian traumatis ketika melahirkan anak kedua saya. 

Ketika saya mengandung anak kedua saya yang berusia 37 minggu, tiba-tiba saya mengalami pendarahan hebat akibat kondisi solutio placenta atau terlepasnya plasenta dari dinding rahim saya. Hal tersebut membuat kondisi saya saat itu kritis dan membutuhkan operasi SC cito (caesar emergency). 

Saya dioperasi dalam keadaan tidak sadar akibat kehilangan darah yang begitu banyak. Anak kedua saya tidak berhasil diselamatkan oleh dokter kandungan. Kondisi saya yang kritis membuat RS tempat saya dirawat memutuskan untuk merujuk saya ke RS yang berbeda. Namun tak lama saya kembali dirujuk di RS kedua ke RS Pusat di Jawa Barat karena kondisi saya yang tidak stabil pasca melahirkan. Akibat perdarahan yang sangat banyak, saya mendapatkan transfusi 10 kantong saat melahirkan. Saya juga nyaris mengalami operasi pengangkatan rahim karena kondisi perdarahan yang sulit untuk dikendalikan.

Pasca persalinan anak kedua, saya sering merasa sedih, cemas dan gelisah. Saya masih mengingat detail kejadian tersebut, dan selalu merasa bersedih karena kehilangan anak saya. Hari-hari saya diliputi oleh kesedihan yang bercampur rasa takut karena pernah mengalami kondisi near death experience. Saya melewati 6 bulan pertama pasca kejadian tersebut dengan amat berat. Rasanya seperti berada di terowongan gelap yang tidak berujung. Ketika akhirnya saya berhasil bangkit kembali, masih terasa ada yang mengganjal di sudut hati saya. 

Ada perasaan bersalah karena saya tidak mampu menjaga anak saya sebagai seorang dokter. Namun juga ada perasaan cemas yang terasa tidak pernah hilang setiap mengingat bahwa saya pernah mengalami proses persalinan yang nyaris membuat nyawa saya melayang. Setiap kali melihat bayi, atau mendengar sanak saudara yang baru saja melahirkan bayinya, saya selalu menangis. Saya juga masih menyimpan baju-baju bayi untuk anak kedua saya di dalam koper yang belum pernah berani saya buka karena selalu membuat saya menangis. Kondisi ini memang perlahan berkurang, namun rasanya tidak sepenuhnya bisa menghilang perasaannya. Terkadang saya masih menangis jika mengingat kejadian tersebut.

Saya mulai mencoba TPT oleh dr. Dimas di tahun 2024. Saya saat itu hanya sekali melakukan TPT bersama dr. Dimas. Proses TPT merupakan hal yang baru bagi saya. Saya memulai sesi dengan menceritakan kondisi traumatis yang pernah saya alami kepada dr. Dimas. Pelan-pelan saya merasakan setiap bagian dari diri saya seperti “terpanggil” dan “hadir” di dalam sesi tersebut. Saya jadi memahami bahwa ternyata ada banyak bagian dari diri saya yang terkena dampak dari kejadian tersebut. Selain itu, dr. Dimas juga dengan sabar menggali setiap emosi yang saya rasakan. Ketika akhirnya sesi tersebut selesai, saya merasa bisa memahami emosi dan diri saya secara lebih utuh. Saya menyadari bahwa ternyata ada banyak bagian dari diri saya yang berjuang selama ini untuk membuat saya tetap kuat. Saya berusaha menyapa masing-masing bagian dari diri saya, mengucapkan terimakasih dan mengapresiasi semua bagian dari diri saya dengan sepenuh hati.

Setelah menjalani 1 sesi TPT dengan dr. Dimas, saya merasa emosi saya menjadi netral. Saya juga merasa berbagai macam emosi saya akibat kejadian traumatis tersebut menjadi lepas. Badan saya juga terasa lebih enteng. Perasaan sedih saya sudah jauh berkurang. Setiap kali melihat bayi, saya menjadi bisa lebih ceria dan tidak lagi teringat anak kedua saya yang telah meninggal dunia. Saya mampu menjalani hari-hari saya dengan lebih ikhlas dan tenang. Selain itu ternyata TPT juga tidak membuat saya menjadi lupa dengan anak kedua saya. Memori kejadian tersebut masih ada, namun emosi yang dirasakan tidak lagi intens.

Saya sangat bersyukur memiliki kesempatan untuk menjalani sesi TPT bersama dr. Dimas. Saya mengakui teknik TPT ini memang masih sangat baru. Secara bukti penelitian juga masih belum banyak dilakukan. Akan tetapi saya dapat merasakan betul manfaat dari TPT ini. Saya sangat mendukung pengembangan teknik TPT ini agar lebih sempurna. Semoga teknik TPT ini semakin berkembang dan makin bisa terasa manfaatnya untuk sesama. Aamiin.

(Kasus ini ditangani oleh salah satu Faculty TPT yaitu dr. Matius Dimas Reza, SpKJ, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Malang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *